Baca Juga
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Allah subhanahuwata’ala menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.
Perjalanan agama Islam yang telah mencapai rentang waktu 14 abad lebih, sedikit banyak memberikan pengaruh bagi para penganutnya. Sebagian besar di antara mereka menjalankan agama ini hanya sebatas seperti apa yang dilakukan para orang tuanya. Yang lebih parah, tidak sedikit pula yang menjalankan agama ini dalam kungkungan kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, dan sebagainya. Sementara yang menjalankan agama ini di atas pemahaman yang sahih jumlahnya amatlah sedikit.
Seperti inilah kondisi umat Islam. As-Sunnah (ajaran Nabi shalallahu’alaihi wa sallam) sudah semakin asing sementara bid’ah kian berkembang. Banyak orang menganggap As-Sunnah sebagai bid’ah dan menganggap bid’ah sebagai As-Sunnah. Syi’ar-syi’ar bid’ah dengan mudahnya dijumpai di sekeliling kita, sebaliknya syi’ar-syi’ar As-Sunnah bagaikan barang langka. Bid’ah secara bahasa artinya adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dari sini, maka pengertian firman Allah subhanahuwata’ala:
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (al-Baqarah: 117)
Maknanya adalah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (al-I’tisham, 1/49)
Dan firman Allah subhanahuwata’ala:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama dari rasul-rasul’.” (al-Ahqaf: 9)
Maksudnya, aku bukanlah orang pertama yang membawa risalah ini dari Allah subhanahuwata’ala kepada hamba-hamba-Nya, (akan tetapi) telah datang rasul-rasul sebelumku. Dari sini dapat dikatakan bahwa seseorang (dikatakan) berbuat bid’ah artinya dia membuat suatu metode baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya. Dari pengertian ini pula, maka sesuatu yang baru yang diada-adakan dalam agama juga dinamakan bid’ah.
Maka dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu cara atau jalan yang baru yang diada-adakan di dalam agama, yang menyerupai syariat dan tujuannya adalah menunjukkan sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahuwata’ala. (al-I’tisham, 1/49—51)
Jenis-Jenis Bid’ah
Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan pembagian bid’ah ini menjadi dua, yaitu bid’ah haqiqiyyah dan bid’ah idhafiyyah.
Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil syariat yang menunjukkannya sama sekali, secara global maupun terperinci, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ataupun Ijma’ (kesepakatan ulama).Bid’ah idhafiyyah adalah bid’ah yang mengandung dua keadaan. Salah satunya, dalam hal amalan itu termasuk yang disyariatkan, akan tetapi si pembuat bid’ah menyusupkan suatu perkara dari diri mereka kemudian mengubah asal pensyariatannya dengan pengamalannya ini. Kebanyakan bid’ah yang terjadi adalah dari jenis ini.
Sebagai contoh adalah zikir secara berjamaah dengan irama (suara) yang bersamaan. Pada asalnya zikir adalah amalan yang disyariatkan, akan tetapi dengan bentuk atau cara yang seperti ini tidak pernah sama sekali dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, maka ini dikatakan bid’ah.
Begitu pula bid’ah perayaan Maulid Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Pada hakikatnya, mencintai Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah wajib bagi setiap muslim dan tidak sempurna keimanannya sehingga dia menjadikan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam orang yang paling dicintainya, lebih dari dirinya sendiri, anak-anaknya, ibu bapaknya, atau bahkan seluruh manusia. Namun semua itu dibuktikan dengan menaatinya, melaksanakan segala perintahnya, menjauhi larangannya, serta membenarkan seluruh berita yang disampaikannya. Dan sesungguhnya beliau shalallahu’alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari kebid’ahan.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
“Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahuanhu)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahuanha)
Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para al-Khulafa ar-Rasyidin, sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang lain, ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan, mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah radhiyallahuanha bintu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Ada pula yang membagi bid’ah ini berdasarkan akibatnya, yaitu menyebabkan seseorang menjadi kafir, keluar dari Islam dan bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir. Adapun bid’ah yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah mengingkari perkara agama yang dharuri (perkara yang sangat prinsip dan sangat penting untuk diketahui dalam Islam) yang telah diketahui dan disepakati oleh kaum muslimin serta mutawatir menurut syariat Islam.
Misalnya menentang hal-hal yang telah dinyatakan wajib oleh syariat (shalat, puasa, dan lain-lain), menghalalkan apa yang diharamkan atau sebaliknya, atau mempunyai keyakinan tentang suatu perkara yang Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya shalallahu’alaihi wa sallam serta kitab-Nya bersih dari perkara tersebut.
Bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah bid’ah yang tidak menimbulkan pendustaan (pengingkaran) terhadap Al-Qur’an atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Seperti yang pernah terjadi di masa kekuasaan Bani ‘Umayyah, misalnya menunda shalat dari waktu yang seharusnya dan mendahulukan khutbah dari shalat ‘ied. Hal ini ditentang oleh para sahabat yang masih hidup ketika itu, namun mereka tidak mengafirkan para penguasa yang ada ketika itu, bahkan tidak menarik bai’at (sumpah setia) mereka dari para penguasa itu.
Larangan Berbuat Bid’ah
Dari keterangan tentang pengertian dan bentuk-bentuk bid’ah ini, maka tidak samar lagi bahwa perbuatan bid’ah adalah sangat tercela dan mengikutinya berarti menyimpang dari ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Adapun larangan berbuat bid’ah senantiasa erat kaitannya dengan perintah mengikuti Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan jamaah (bersatu), baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih serta atsar (ucapan) para ulama salaf (baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in).
Allah subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah! Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dalam keadaan saling bermusuhan lalu Dia mempersatukan hati-hati kalian, sehingga akhirnya kalian menjadi bersaudara. Dan (ingatlah) ketika kalian di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat (tanda kekuasaan)-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman Allah subhanahuwata’ala:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali dari kalian yang mau mengambil pelajaran.”(al-A’raf: 3)
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian (betul-betul) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
“Kalau kalian menaatinya (Nabi Muhammad) niscaya kalian akan mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul itu kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
“Maka tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أُوصِيْكُم بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُم فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالَّنوَاجِذِ وَإِياَّكُم وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah subhanahuwata’ala, mendengar dan menaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak belian. Dan sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnah (jalan atau cara hidup)ku dan sunnah para al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, serta gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al’Irbadh bin Sariyah radhiyallahuanhu)
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ n وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Kemudian daripada itu. Maka sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Muslim dari Jabir radhiyallahuanhu)”
Abdullah bin ‘Ukaim radhiyallahuanhu menyebutkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahuanhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah firman Allah subhanahuwata’ala. Dan sesungguhnya sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Ingatlah bahwa semua yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap kebid’ahan adalah sesat, dan kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (al-Lalikai, 1/84)
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahuanhu menyebutkan, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kamu sekalian telah diberi kecukupan (dalam agama kalian). Dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (al-Ibanah 1/327—328, al-Lalikai 1/86)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahuanhu mengatakan, “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.” (al-Ibanah 1/339, al-Lalikai 1/92) Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah subhanahuwata’ala telah menyatakan:
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.’ (al-Maidah: 3)
Maka apa pun yang ketika itu (di zaman Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan, “Sesungguhnya apabila Allah subhanahuwata’ala menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya shalallahu’alaihi wa sallam, maka apa gunanya lagi segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah subhanahuwata’ala menyempurnakan agama-Nya ini?!
Kalau pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan terhadap Al-Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari ajaran agama (Islam)?!
(Ayat) ini adalah hujjah yang tegas dan dalil yang pasti. Tidak mungkin mereka membantahnya sama sekali selama-lamanya. Maka dari itu, jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama yang dipukulkan ke muka ahlul bid’ah untuk mematahkan segala hujjah mereka.”
[al-Qaulul Mufid hlm. 38, dinukil dari al-Luma’]
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Asy Syariah
Allah subhanahuwata’ala menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.
Perjalanan agama Islam yang telah mencapai rentang waktu 14 abad lebih, sedikit banyak memberikan pengaruh bagi para penganutnya. Sebagian besar di antara mereka menjalankan agama ini hanya sebatas seperti apa yang dilakukan para orang tuanya. Yang lebih parah, tidak sedikit pula yang menjalankan agama ini dalam kungkungan kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, dan sebagainya. Sementara yang menjalankan agama ini di atas pemahaman yang sahih jumlahnya amatlah sedikit.
Seperti inilah kondisi umat Islam. As-Sunnah (ajaran Nabi shalallahu’alaihi wa sallam) sudah semakin asing sementara bid’ah kian berkembang. Banyak orang menganggap As-Sunnah sebagai bid’ah dan menganggap bid’ah sebagai As-Sunnah. Syi’ar-syi’ar bid’ah dengan mudahnya dijumpai di sekeliling kita, sebaliknya syi’ar-syi’ar As-Sunnah bagaikan barang langka. Bid’ah secara bahasa artinya adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dari sini, maka pengertian firman Allah subhanahuwata’ala:
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (al-Baqarah: 117)
Maknanya adalah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (al-I’tisham, 1/49)
Dan firman Allah subhanahuwata’ala:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama dari rasul-rasul’.” (al-Ahqaf: 9)
Maksudnya, aku bukanlah orang pertama yang membawa risalah ini dari Allah subhanahuwata’ala kepada hamba-hamba-Nya, (akan tetapi) telah datang rasul-rasul sebelumku. Dari sini dapat dikatakan bahwa seseorang (dikatakan) berbuat bid’ah artinya dia membuat suatu metode baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya. Dari pengertian ini pula, maka sesuatu yang baru yang diada-adakan dalam agama juga dinamakan bid’ah.
Maka dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu cara atau jalan yang baru yang diada-adakan di dalam agama, yang menyerupai syariat dan tujuannya adalah menunjukkan sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahuwata’ala. (al-I’tisham, 1/49—51)
Jenis-Jenis Bid’ah
Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan pembagian bid’ah ini menjadi dua, yaitu bid’ah haqiqiyyah dan bid’ah idhafiyyah.
Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil syariat yang menunjukkannya sama sekali, secara global maupun terperinci, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ataupun Ijma’ (kesepakatan ulama).Bid’ah idhafiyyah adalah bid’ah yang mengandung dua keadaan. Salah satunya, dalam hal amalan itu termasuk yang disyariatkan, akan tetapi si pembuat bid’ah menyusupkan suatu perkara dari diri mereka kemudian mengubah asal pensyariatannya dengan pengamalannya ini. Kebanyakan bid’ah yang terjadi adalah dari jenis ini.
Sebagai contoh adalah zikir secara berjamaah dengan irama (suara) yang bersamaan. Pada asalnya zikir adalah amalan yang disyariatkan, akan tetapi dengan bentuk atau cara yang seperti ini tidak pernah sama sekali dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, maka ini dikatakan bid’ah.
Begitu pula bid’ah perayaan Maulid Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Pada hakikatnya, mencintai Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah wajib bagi setiap muslim dan tidak sempurna keimanannya sehingga dia menjadikan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam orang yang paling dicintainya, lebih dari dirinya sendiri, anak-anaknya, ibu bapaknya, atau bahkan seluruh manusia. Namun semua itu dibuktikan dengan menaatinya, melaksanakan segala perintahnya, menjauhi larangannya, serta membenarkan seluruh berita yang disampaikannya. Dan sesungguhnya beliau shalallahu’alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari kebid’ahan.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
“Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahuanhu)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahuanha)
Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para al-Khulafa ar-Rasyidin, sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang lain, ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan, mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah radhiyallahuanha bintu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Ada pula yang membagi bid’ah ini berdasarkan akibatnya, yaitu menyebabkan seseorang menjadi kafir, keluar dari Islam dan bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir. Adapun bid’ah yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah mengingkari perkara agama yang dharuri (perkara yang sangat prinsip dan sangat penting untuk diketahui dalam Islam) yang telah diketahui dan disepakati oleh kaum muslimin serta mutawatir menurut syariat Islam.
Misalnya menentang hal-hal yang telah dinyatakan wajib oleh syariat (shalat, puasa, dan lain-lain), menghalalkan apa yang diharamkan atau sebaliknya, atau mempunyai keyakinan tentang suatu perkara yang Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya shalallahu’alaihi wa sallam serta kitab-Nya bersih dari perkara tersebut.
Bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah bid’ah yang tidak menimbulkan pendustaan (pengingkaran) terhadap Al-Qur’an atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Seperti yang pernah terjadi di masa kekuasaan Bani ‘Umayyah, misalnya menunda shalat dari waktu yang seharusnya dan mendahulukan khutbah dari shalat ‘ied. Hal ini ditentang oleh para sahabat yang masih hidup ketika itu, namun mereka tidak mengafirkan para penguasa yang ada ketika itu, bahkan tidak menarik bai’at (sumpah setia) mereka dari para penguasa itu.
Larangan Berbuat Bid’ah
Dari keterangan tentang pengertian dan bentuk-bentuk bid’ah ini, maka tidak samar lagi bahwa perbuatan bid’ah adalah sangat tercela dan mengikutinya berarti menyimpang dari ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Adapun larangan berbuat bid’ah senantiasa erat kaitannya dengan perintah mengikuti Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan jamaah (bersatu), baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih serta atsar (ucapan) para ulama salaf (baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in).
Allah subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah! Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dalam keadaan saling bermusuhan lalu Dia mempersatukan hati-hati kalian, sehingga akhirnya kalian menjadi bersaudara. Dan (ingatlah) ketika kalian di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat (tanda kekuasaan)-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman Allah subhanahuwata’ala:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali dari kalian yang mau mengambil pelajaran.”(al-A’raf: 3)
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian (betul-betul) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
“Kalau kalian menaatinya (Nabi Muhammad) niscaya kalian akan mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul itu kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
“Maka tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أُوصِيْكُم بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُم فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالَّنوَاجِذِ وَإِياَّكُم وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah subhanahuwata’ala, mendengar dan menaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak belian. Dan sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnah (jalan atau cara hidup)
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ n وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Kemudian daripada itu. Maka sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Muslim dari Jabir radhiyallahuanhu)”
Abdullah bin ‘Ukaim radhiyallahuanhu menyebutkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahuanhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah firman Allah subhanahuwata’ala. Dan sesungguhnya sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Ingatlah bahwa semua yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap kebid’ahan adalah sesat, dan kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (al-Lalikai, 1/84)
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahuanhu menyebutkan, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kamu sekalian telah diberi kecukupan (dalam agama kalian). Dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (al-Ibanah 1/327—328, al-Lalikai 1/86)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahuanhu mengatakan, “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.” (al-Ibanah 1/339, al-Lalikai 1/92) Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah subhanahuwata’ala telah menyatakan:
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.’ (al-Maidah: 3)
Maka apa pun yang ketika itu (di zaman Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan, “Sesungguhnya apabila Allah subhanahuwata’ala menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya shalallahu’alaihi wa sallam, maka apa gunanya lagi segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah subhanahuwata’ala menyempurnakan agama-Nya ini?!
Kalau pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan terhadap Al-Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari ajaran agama (Islam)?!
(Ayat) ini adalah hujjah yang tegas dan dalil yang pasti. Tidak mungkin mereka membantahnya sama sekali selama-lamanya. Maka dari itu, jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama yang dipukulkan ke muka ahlul bid’ah untuk mematahkan segala hujjah mereka.”
[al-Qaulul Mufid hlm. 38, dinukil dari al-Luma’]
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Asy Syariah
Post a Comment